Friday, April 1, 2016

Orang Kuat Menurut Agama


Orang yang paling kuat adalah orang yang bisa menahan dan mengendalikan amarahnya. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah saw menyatakan :
“Orang kuat bukanlah orang yang menang bergulat, tetapi yang disebut orang kuat adalah orang yang bisa mengendalikan dirinya pada saat marah”.[HR. Bukhari dan Muslim]
Marah (Ghazab) merupakan fithrah yang telah diberikan Allah kepada setiap manusia. Setiap manusia pasti pernah merasakan rasa amarah. Namun demikian, Islam telah memerintahkan umatnya agar bisa menahan amarah. Allah swt berfirman, artinya :
“..dan orang-orang yang bisa menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain.”[Ali Imron:135]
Ayat ini menjelaskan bahwa mengendalikan amarah adalah salah satu sifat orang-orang yang bertaqwa. Bahkan akan lebih utama lagi apabila ia memaafkan kesalahan orang yang membuat dirinya marah. Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan bahwa Nabi Musa as pernah bertanya kepada Allah swt:
“Ya Rabbi! Siapakah di antara hambaMu yang lebih mulia menurut pandanganMu? Allah berfirman,”Ialah orang yang apabila berhail menguasai musuhnya darpat segera memaafkannya.”[HR. Kharaithi dari Abu Hurairah].
Atas dasar itu, orang yang memiliki kemuliaan tinggi adalah orang yang mampu memaafkan musuh-musuhnya. Sungguh, memaafkan orang-orang yang telah menyakiti dan memusuhi kita merupakan perkara yang sangat berat dan membutuhkan pengendalian emosi. Wajar saja apabila orang yang bisa memaafkan kesalahan orang lain terkategori orang-orang bertaqwa dan akan mendapatkan kemuliaan di sisi Allah swt. Al-Quran juga telah menyinggung masalah ini di beberapa tempat.
“Memaafkan itu lebih mendekatkan kepada taqwa.”[al-baqarah:237]“Dan hendaklah mereka suka memaafkan dan mengampuni. Apakah kalian tidak suka Allah mengampuni kalian?’[al-Nuur:22]
Dalam hadits-hadits shahih dituturkan keutamaan orang yang bisa menahan amarah dan bisa memaafkan orang lain. Rasulullah saw bersabda:
“Ada tiga hal yang apabila dilakukan akan dilindungi Allah dalam pemeliharaanNya, ditaburi rahmatNya, dan dimasukkanNya ke dalam surgaNya, yaitu: Apabila diberi ia berterima kasih; apabila berkuasa ia suka memaafkan dan apabila marah ia menahan diri”. [HR. Hakim dan Ibnu Hibban dari Ibnu ‘Abbas]
“Nabi saw bersabda kepada ‘Uqbah bin ‘Amir ra, “Wahai ‘Uqbah! Maukah engkau aku beritahukan budi pekerti yang paling utama ahli dunia dan akherat? Yaitu, menyambung silaturahim dengan orang yang telah memutuskannya, memberi orang yang tidak pernah memberimu, dan memaafkan orang yang pernah menganiayamu”. [Ihyaa’ ‘Ulumuddin juz III, hal.158]
Pada dasarnya, marah (ghadlab) menunjukkan gejala mendidihnya darah dalam jantung yang didorong oleh motif ingin membinasakan dan yang menyebabkan panasnya mengalir di kepala. Muka menjadi merah padam, matanya bersinar tajam, telinganya memerah tidak mau mendengarkan nasehat dan peringatan. Bahkan rasa amarah yang telah memuncak bakal memadamkan akal dan pikiran. Nafas memburu dan menyesakkan rongga dada. Gejala-gejala semacam ini bisa dimaklumi, sebab, amarah itu ibaratnya bara api yang menyala di dalam hati manusia. Perhatian sabda Rasulullah saw,”
“Jagalah dirimu dari perbuatan marah, sesungguhnya marah itu laksana bara api yang menyala di dalam hati bani Adam. Cobalah perhatikan (ketika orang sedang marah) lehernya berkembang dua biji matanya memerah.”
Lantas, bagaimana cara mengatasi dan mengendalikan rasa marah? Rasulullah saw telah memberikan bimbingan ringkas untuk mengendalikan rasa marah. Dalam sebuah hadits dituturkan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda:
“Sesungguhnya marah itu berasal dari setan dan setan diciptakan dari api, dan api hanyalah dapat dipadamkan dengan air. Apabila di antara kalian marah, hendaklah berwudlu.”[HR. Ahmad dan Abu Daud]
Kemarahan bisa dipadamkan dengan cara mengambil air wudlu’. Air wudlu akan mendinginkan kepala dan meredakan panas yang muncul dari luapan emosi. Akibatnya, dendam kesumat menjadi padam dan pikiran akan jernih kembali.
Dalam hadits-hadits yang lain disebutkan bahwa rasa amarah bisa dihilangkan dengan cara dzikir kepada Allah swt. Sebab, dengan dzikir hati seseorang akan menjadi tenang dan tentram. Kontrol diri semakin mantap dan hatinya selalu terpaut kepada Allah swt. Tatkala hatinya selalu terpaut kepada Allah swt, maka ia akan berfikir jernih dan sabar. Atas dasar itu, dzikrullah adalah kendali dari rasa amarah. Dalam sebuah hadits qudsiy dituturkan bahwa, apabila ada orang yang tetap mengingat Allah di saat marah maka dirinya akan mendapatkan rahmat dari Allah swt.
“Barangsiapa yang ingat kepadaKu ketika marah, niscaya Aku ingat kepadanya ketika Aku marah, dan tidak akan Aku hilangkan rahmatKu sebagaimana orang-orang yang Aku binasakan atau hilangkan rahmatnya”[HR. Dailami dari Anas ra]
Namun demikian, seorang muslim harus membenci dan marah tatkala ia menyaksikan kemungkaran dan kemaksiyatan. Ia tidak boleh ridlo dan cenderung terhadap kemungkaran dan kemaksiyatan. Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang dzalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiadak mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.”[Huud:113]
Dalam sebuah riwayat dituturkan bahwa Rasulullah saw selalu menunjukkan amarahnya tatkala menyaksikan kemungkaran dan kemaksiyatan. Dari Abu Mas’ud ‘Ukhbah bin ‘Amr al-Badriy berkata,”Ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah saw dan berkata, “Sesungguhnya saya terpaksa mundur dari jama’ah sholat Shubuh karena di fulan memanjangkan bacaan sholatnya bersama kami. “ Maka saya tidak pernah melihat Rasulullah saw marah di dalam memberikan nasehat melebihi marahnya saat itu, dimana beliau bersabda,”Wahai sekalian manusia, sesungguhnya ada diantara kamu sekalian orang-orang yang menjadikan jauh. Barangsiapa di antara kamu sekalian menjadi imam maka hendaklah ia memperpendek bacaannya, karena di belakangnya ada orang yang sudah tua, ada orang yang lemah, dan ada orang mempunyai keperluan lain.”[HR. Bukhari Muslim]


Dari ’Aisyah ra dituturkan bahwa ia berkata,”Rasulullah saw datang dari bepergian, sedangkan di dalam rumah saya pasang sebuah tabir yang ada lukisannya, kemudian setelah Rasulullah saw melihatnya maka beliau mengoyak-ngoyak dan berubahlah wajahnya seraya bersabda,”Wahai A’isyah, seberat-berat siksaan Allah nanti di hari akhir yaitu siksaan orang-orang yang menyaingi ciptaan Allah.”[HR. Bukhari dan Muslim]
Seorang muslim juga harus menunjukkan rasa marahnya ketika melihat aturan-aturan Allah swt mulai dicampakkan dan diganti dengan aturan-aturan kufur. Ia harus marah ketika para penguasa mulai bermesraan dan bermuwalah dengan orang-orang kafir. Ia juga harus menunjukkan rasa marahnya ketika melihat para penguasa mulai menerapkan aturan-aturan kufur yang bertentangan dengan syari’at Allah swt.
Atas dasar itu, kaum muslim harus bisa mengendalikan rasa marahnya, dan memenejnya sesuai dengan aturan-aturan Islam. Apabila seorang muslim melihat kemungkaran atau kemaksiyatan maka hatinya akan marah dan berusaha untuk mengubah kemungkaran tersebut. Sebaliknya, ia akan bergembira tatkala menyaksikan perintah Allah swt dijunjung tinggi.
Agar kaum muslim menjadi orang-orang yang kuat, sudah sewajibnya mereka mengendalikan rasa amarahnya dan memupuk ketaqwaan kepada Allah swt.

0 komentar:

Post a Comment